Sabtu, 29 November 2014

What goes around, comes back around.

I gave up on them. I gave up on people. I gave up on things. And this time, it's no different, I'll give up on you. Sorry for being not good enough. It's not that I don't love you, believe me, I do cherish even the tiny memories we made even when you don't. I fought my trust issues for you, I became less and less the detached person I was. But I guess my defensive self was right and it's all my fault, choosing to believe in you rather than go with my intuition. Once again, believe me when I said I do cherish you a lot, but things didn't come in handy when I had to deal with your bad sides and vice versa. The bad parts outweighed everything good in this friendship and I guess I got to bail out when you have no effort to make things right like they used to. People's experiences are different though, it's just that mine wasn't a good one and I don't(never) blame you. It's a good thing that there are people who still can cope with you alright, don't take them for granted, okay?

Hope you have a good life there, mate.
Remember, I'm still here when you need me.

See you at the top! Xx.

Senin, 16 Juni 2014

Birthday Celebration Culture



And no. I'm writing this definitely not because today is my birthday or because I have any desire to remind you guys of it so you guys can congratulate me. Okay maybe a little bit.

On a more related note, the very idea of birthday really baffles me. I mean, Why do people congratulate someone on their birthday? It's my birthday today and God damn it, it feels really weird having people congratulate me just because I've survived another Earth's revolution around the Sun. 

I mean, sure, living on Earth is getting harder with each passing day, but I still don't think it's a feat worthy to be celebrated or --even more ridiculous-- to be wished happiness upon. Maybe when someone passes 80 year old or whatever the average life expectancy of human being is, then I believe it's appropriate to wish them a happy birthday. If they have just survived a mere 20 Earth's revolution around the Sun, wishing them a happy birthday sounds more like a mock than anything else.

While I think that the subsequent birthdays following your first are mundane and not worthy to be celebrated, I personally believe that your very first birthday (the day someone's vagina had to be cut and you were shoved head-first through it) is really important. It marks the start of your journey and is the origin of all the stupid birthday wishes you will get starting the following year. 

Not only do I find the idea of celebrating birthday weird, I find the very celebration of birthday even weirder. In some culture, people having birthday have to cut a cake with candles on it and to shut their eyes and pray their wishes before blowing the candles off. In another culture, they have to eat noodles with several red boiled eggs in it (coughchinesecough) because they believe that it is the secret to longevity. I bet you that the first person who convinced his friends that red eggs were the fucking secret to longevity actually sold eggs for a living. 

I hate thinking of myself as growing older, it's probably more appropriate for me to see myself as leveling up. But instead of getting power-ups or amazing abilities every time I level up, the only perk I get is increasing lower back pain every time I wake up from my prolonged sitting period. Ugh.

Kamis, 22 Mei 2014

Fragmen 1.

Dunia ini bukan simulasi surga, jangan terlalu banyak berharap dipermudah. Kamu bisa memaki habis hatimu, namun kamu lupa, bilamana otakpun turut andil dalam mempertanyakan. Organmu yang satu itu, tiada bosan menggaungkan pertanyaan dan pernyataan masygul. Bahkan, hingga hatimu mengeluh ingin mati.
Andai benar kamu mampu berdiri sendiri, kamupun tiada mampu menangani segenap belenggu. Organ-organmu, sekalipun. Bahkan, hingga mereka mereka melemah dan akhirnya kembali berkalang tanah bersama ragamu, kamu akan ingat semua ucapanku, dan bisa kupastikan, kamu akan memberi pembenaran.
Tolong, dengarkan aku, kali ini saja. Jangan pernah merasa sendirian,
Karena percayalah, aku disini, dapat merengkuh sukma dan menggenggam hasrat,
Hanya untuk menjagamu, dari jauh.


Fragmen 2.

Aku tak suka bercermin. Bayanganku selalu nampak palsu, Senyumkupun begitu. Cermin selalu menyembunyikan kebusukkan, aku tidak suka. Anehnya, malam ini cermin di sudut lorong mengerikan ini nampak bersahabat, pantulan cahayanya bagai sorot mata yang selalu kurindu. Cerminku tidak merefleksikan kebohongan, ternyata. Aku mematut diriku, sekali lagi. Setelahnya, bayanganku tak pernah lagi jadi teman.

Lantas, aku sendirian.


Fragmen 3 

Muak, adalah berada di satu tempat asing yang ramai, tempat yang bising lagi tak damai.
Tenggelam dalam imaji.
Hidup ini bukan pasar malam, sebentar hingar, tetiba hampa.
Aku masih merasa sunyi.
Yang itu, salah siapa?
Mengapa tiada yang dapat kupersalahkan?
Aku masih saja merasa senyap.

Selasa, 18 Maret 2014

"You blame the other because they won’t change for you? Why don’t you change yourself first?"
And i just realized..
Terkadang kita ga bisa terus menuntut orang lain untuk terus-terusan menerima diri kita apa adanya, terkadang kita yang harus berubah (sedikit). I don’t say that we have to change to someone else, we just have to change into the better person, at least for ourself first.

Senin, 17 Maret 2014

Aku belajar bahwa terkadang selain harus mendengarkan perkataan orang lain, kita juga harus tahu apa yang sebenarnya kita butuh.
Dan terkadang, kita tidak sehebat yang kita pikir. Dan itu gak apa-apa.

Aku juga belajar, kita tidak harus tahu orang lain butuh kita atau tidak, tapi yang penting kita ada untuk mereka.
Aku belajar terkadang kita merasa apa yang kita tidak punya lebih indah daripada yang kita punya. Padahal jangan-jangan yang kita punya, sama indahnya.

Aku juga belajar terkadang apa yang kita mau tidak sama dengan apa yang kita butuh. Dan jangan-jangan apa yang kita butuh bisa membuat kita bahagia.


Raditya Dika, Malam Minggu Miko.


Jumat, 07 Maret 2014

How would you describe love? And how would you react to it?



When it comes to love, which of course is such an everlasting topic to discuss, if I can be truly honest to myself the more I grow, the more I experience life, after falling in love, falling out of love, asking about love itself, searching for love, not believing in love, then believing in love once again. After all that, the more sure I am that what i’m feeling right now is not love.
I’m desiring yes, I’m attached yes, I’m afraid yes but is that love? Is love attachment? is love fear? or is love something more that transcends this. Do you love someone because they love you back? Can you love without being given love? Is there jealousy in love? Isn’t jealousy a sign of ownership? Is love then all just about owning? Like owning an object?
Is that real love? Is love just then about your own personal security?
And if love is just a mere emotion, won’t it disappear like any other emotions? As all emotions are impermanent and transitory?
I really don’t know anonymous but if you ask me why am I still in a relationship now, it’s because both of us acknowledge this problem of love and we’re both looking for the answer together. Life is harsh, happiness is just right around the corner, but so is sadness. And life with all its tribulations and elations is much easier to handle when you have someone going in the same direction.
So for now i’m not asking anymore than that.
"If you don’t know what to do, you do nothing, don’t you? Absolutely nothing. Then inwardly you are completely silent. Do you understand what that means? It means that you are not seeking, not wanting, not pursuing; there is no centre at all. Then there is love. " - Jiddu Krishnamurti
Aku banyak membuang waktu untuk hal-hal yang semu. Aku banyak membuang energi untuk hal yang sebenarnya terlalu lelah untuk aku perjuangkan.
Aku banyak membuang pikiran untuk hal yang tak pernah aku mengerti. Aku banyak mengetahui hal-hal yang sebenarnya tercipta atas ketidaktahuanku sendiri.
Aku banyak bertanya mengenai hal yang (mungkin) tak pernah akan kutahu jawabannya. Aku jauh melangkah ke arah yang sebenarnya sulit kutemukan dimana ujungnya.
Aku banyak mencari alasan untuk hal yang sebenarnya dengan singkat dapat kujelaskan. Aku banyak merasakan hal yang seharusnya tidak sedikitpun aku pedulikan.
Aku banyak menangis untuk hal yang seharusnya dengan mudah dapat kutertawakan. Aku banyak tertawa untuk hal yang seharusnya kusesali sedari awal.
Aku banyak menyesal untuk hal yang seharusnya dapat kuperjuangkan dengan usaha lebih banyak. Aku banyak santai padahal waktu tak pernah bisa kukendalikan.
Semalam: Aku banyak bertanya. Aku banyak mengeluh. Aku banyak berpikir.
Terlampau banyak, sampai pada akhirnya,
semua tumpah.

Terima kasih telah mengajarkanku banyak hal.

Nawaal El Saadawi , Sepucuk Surat Cinta Modern, 1969

"…Adakalanya teleponku berdering dan adakalanya kuterima undangan seorang laki-laki tertentu karena keinginanku untuk menemukan kebenaran dan belajar tentang hidup dan manusia. Ini juga suatu usaha untuk menyingkirkan kesepian. Kusadari bahwa aku tidak mungkin hidup dalam diriku sendiri, aku akan tercekik oleh kata-kataku sendiri. Jika aku berbicara sendiri, suaraku tak bisa melakukannya. Jika kulihat wajahku setiap saat, aku akan gila.
Namun aku selalu lari dari orang lain. Aku suka sekali menghilang jauh dari mereka tetapi hal ini kulakukan agar aku tetap mereka ingat. Kubuat jarak agar aku dapat dekat, kupisahkan diriku dari mereka agar hubungan dapat dijaga. Dan itulah dilemaku. Aku ingin menjadi sesuatu yang terpisah dan pada saat yang sama aku ingin menjadi bagian tak terpisahkan dari orang lain. Pertentangan itu mencabik-cabikku, memecahkan ku menjadi 2 bagian, satu bagian dalam diriku sendiri jauh dari orang lain,sedangkan yang diluar diriku dalam hati orang lain.
Satu bagian senyap dan tak bergerak dan memperhatikan gerakan yang lain. Akukah itu yang mengamati orang lain atau orang lain itu yang mengamatiku? Yang mana dari kami yang tidak bergerak dalam ruang dan waktu dan yang mana yang bergerak dalam waktu diatas bumi?”

Lo kan udah jadi diri lo sendiri, kenapa harus takut kalau ada orang yang nggak suka sama lo? Dan kenapa juga sih selalu aja mikirin bagaimana penilaian orang terhadap diri lo? Kalau gini terus, gimana mau majunya? Hehehe
Selentingan kecil percakapan (atau lebih pantas disebut nasihat) yang cukup membuat berpikir. Tidak munafik, aku pun sering memikirkan hal (yang sebenarnya tidak penting) seperti ini. Ternyata setelah aku pikir ulang, tidak ada manfaatnya buat diri sendiri dan tidak juga akan memperbaiki kualitas dalam diri kita. Ya, kan? :)
Kenapa harus takut kalau ada orang yang tidak menyukai kita?
About all you can do in life is be who you are. Some people will love you for you. Most will love you for what you can do for them, and some won’t like you at all.” — Rita Mae Brown.
Toh pada akhirnya, kita tidak akan bisa membuat semua orang suka dengan pribadi kita; dengan apa yang kita lakukan, dengan apa yang kita katakan. Pastinya akan ada satu atau dua yang tidak sependapat, tidak sepemikiran dengan kita. Dan itu tidak apa-apa. Yang penting, kita berhenti berusaha untuk selalu tampil seperti yang diinginkan orang lain hanya untuk membuat mereka suka. Lebih baik menjadi apa adanya, dan biarkan mereka menerima kita dengan apa adanya. Karena berpura-pura menjadi orang lain untuk bisa diterima hanya akan melelahkan kita sendiri. Tak perlu orang lain untuk menerima kita, tapi yang terpenting adalah kita harus menerima diri kita sendiri.
Kenapa selalu saja memikirkan bagaimana penilaian orang lain terhadap diri kita?
Kalau lo suka, oke. Kalau lo gak suka? Ya, ini lah gue.
Jadi daripada sibuk memikirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain terhadap diri kita, lebih baik fokus untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Yang lebih bermanfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Lebih baik mengubah diri sendiri menjadi lebih baik daripada memaksa mengubah pemikiran orang lain untuk berpikir baik terhadap diri kita. Mereka jelas tidak menjalani apa yang kita jalani, pun mereka tidak mengerti situasi dan penjelasannya, bukan? Dan jangan sampai kita terjebak dalam dogma, yaitu hidup atas pemikiran-pemikiran orang lain.
Dan ini yang terakhir,
Jangan pernah berusaha menjadi seperti orang lain.
Be yourself. Above all, let who you are, what you are, what you believe, shine through every sentence you write, every piece you finish.” — John Jakes.

Sabtu, 22 Februari 2014


Screaming


No, you do not have to be nice. You do not have to be nice. You do not have to let go of what you believe in to placate someone who violates you. No one is entitled to undermine you, your beliefs, your values, your desires, your well being, your self, and you do not have to be nice about it. Say no. Practice saying no. Practice saying the truth and when the question is an attack and your truth is no, then scream from the top of your proverbial lungs even if all that squeaks out of your vocal chords is a subdued, “I’d rather not.” I’d rather not is a step on the way to no, and no is a step on the way to growth. You are not a step, you are not a means, you are an end. You can say no! You can say: no! God, no! Fuck no! Never! No, no, no, that does not work for me, I want nothing to do with that, how fucking dare you, don’t ask me again, for the last time, NO! You do not have to be nice about your no if the niceties have been abandoned to form the offer. No is yours. No is your power. No is your freedom. No is your right; so write it. Write that scathing poem about the best friend who never took her eyes off the love your life. Write that song that howls “you’re worthless,” “don’t call me,” “what you did will never be okay,” “I don’t forgive you,” “your apology means shit,” “you hurt me.” Don’t water down your anger to benefit those who never held your feelings close. Break things. Break things! Scream.
"You own everything that happened to you. Tell your stories."
Tell your stories. Don’t lie to save face, or hide the truth to protect them, don’t sell your self worth for the price of one ticket for the easy ride… this ride is not easy. Write the letter that ends the friendship that never reached out when you were drowning. Make the call that leaves your tongue tasting bitter, your worth is bigger, your self is bigger, your happiness is so much bigger. So don’t sit on it. Don’t hold on to it. Don’t keep it in bottles or jars on your shelf, because these parts of your story are real, and no, you do not have to be nice. You do not have to be nice. Write the poem. Write the poem and take it to the rooftop and scream it until your lips are aching or your fingers are numb and tell everyone who will listen, because you don’t have to take responsibility for the way you’ve been wronged. Tell your stories. Tell them true.
"If people wanted you to write warmly about them, they should have behaved better."